Dalam Penyelesaian Masalah Anak
(Bertanya dan Mendengarlah lebih dulu)
Saat istirahat dua orang murid
perempuan lari menuju kantor sekolah dengan berteriak “Pak Guruuu...... itu
lho anak yang laki-laki pada mlorotin celana”. mendengar teriakan tersebut
bergegaslah seorang guru ke kelas yang dituju. Karena merasa bersalah anak yang melakukan
tadi sebut saja Rio mojok di bawah meja. Dengan suara yang pelan dan dengan
gaya bertanya (tidak menghakimi) seorang guru mendekati Rio selayaknya sahabat
yang kasihan melihat temannya bersedih. Setelah ditanya, Rio bercerita, “saya
Cuma bermain kok pak, mlorotin celanaku sendiri bukan celana orang lain
dan saya masih pakai celana pendek di dalamnya, kan nanti mau renang, tapi
malah diplorotin sama Fajar”. “Oo..begitu”, kata pak guru.
Akhirnya guru memberi nasehat bahwa perilaku tersebut tidak benar dan tidak boleh mengulangi
perbuatan itu lagi.
Cara langsung
menghakimi menyalahkan pada anak akan membuat depresi bahkan traumatis. Dengan bertanya
dan mendengar lebih diterima oleh anak dari pada langsung menghakiminya,
semisal “benar kamu tadi mlorotin celana?” tanpa mendengar kata apapun
dari anak, tapi langsung dihakimi apalagi ditambah memarahinya akan membuat
anak merasa terpojok dan menjadikan pegalaman yang buruk.
Berbeda
halnya dengan model bertanya, yang menentukan salah dan benar adalah anak
sendiri dengan model dialog. Guru atau orang tua hanya bertanya, biarkan anak
bercerita apa yang dilakukannya, kita hanya mengarahkan dan memberitahu kalau
perilaku seperti ini benar, ini baik, yang ini salah, kalau itu buruk dan
seterusnya. Dengan model seperti ini anak merasa dihargai sehingga menjadikan
pengalaman ini menjadi pembelajaran.
Pengalaman
anak menjadi lebih indah jika ditutup dengan penyelesaian yang indah pula.
Ditambah dengan penanaman nilai-nilai agama, semisal “tadi waktu melakukan perbuatan
itu berarti setannya baru menguasai tubuhmu” dilanjutkan pertanyaan, “setan
terbuat dari apa”? (Api) “api akan mati jika disiram apa?” (Air), “yuk sekarang
ambil air wudhu agar setannya kalah dan pergi, kalau sudah wudhu kok masih
marah, berarti kamu belum bisa mengalahkan setan”. “tapi pak guru yakin kamu dapat
mengalahkan setan”. Dengan cara ini lebih disenangi anak dan merasa tidak
disalahkan.
Orang
tua atau guru diharapkan memahami proses perkembangan sosial dan emosi anak.
Usia SD dalam tahapan perkembangan masuk dalam perkembangan sosial pada masa
kanak-kanak akhir. Setelah anak memasuki sekolah , mereka melakukan hubungan
yang lebih banyak dengan anak lain dibandingkan dengan ketika masa prasekolah, setelah
usia SD minat pada kegiatan keluarga berkurang. Hal ini sangat dipengaruhi dari
dari pengalaman-pengalaman anak dirumah. Maka diharapkan semua orang tua dapat
memberi pegalaman-pengalaman terbaik untuk para buah hatinya.
Oleh:
H.M. Zaelani, S.S. (Kepala Sekolah SDIT Salsabila 2 Yogyakarta)
sae ustad Je mangga dilanjut
BalasHapusmatur nuwun Ust.Tomy, kami tunggu kabar gembiranya dari perkembangan usaha yang dilakukan saat ini... LANJUTKAN PERJUANGAN
BalasHapus