Kamis, 02 Februari 2012

Bertanya dan Mendengarlah lebih dulu


Dalam Penyelesaian Masalah Anak
(Bertanya dan Mendengarlah lebih dulu)

Saat istirahat dua orang murid perempuan lari menuju kantor sekolah dengan berteriak “Pak Guruuu...... itu lho anak yang laki-laki pada mlorotin celana”. mendengar teriakan tersebut bergegaslah seorang guru ke kelas yang dituju.  Karena merasa bersalah anak yang melakukan tadi sebut saja Rio mojok di bawah meja. Dengan suara yang pelan dan dengan gaya bertanya (tidak menghakimi) seorang guru mendekati Rio selayaknya sahabat yang kasihan melihat temannya bersedih. Setelah ditanya, Rio bercerita, “saya Cuma bermain kok pak, mlorotin celanaku sendiri bukan celana orang lain dan saya masih pakai celana pendek di dalamnya, kan nanti mau renang, tapi malah diplorotin sama Fajar”. “Oo..begitu”, kata pak guru. Akhirnya guru memberi nasehat bahwa perilaku tersebut  tidak benar dan tidak boleh mengulangi perbuatan itu lagi.
            Cara langsung menghakimi menyalahkan pada anak akan membuat depresi bahkan traumatis. Dengan bertanya dan mendengar lebih diterima oleh anak dari pada langsung menghakiminya, semisal “benar kamu tadi mlorotin celana?” tanpa mendengar kata apapun dari anak, tapi langsung dihakimi apalagi ditambah memarahinya akan membuat anak merasa terpojok dan menjadikan pegalaman yang buruk.
            Berbeda halnya dengan model bertanya, yang menentukan salah dan benar adalah anak sendiri dengan model dialog. Guru atau orang tua hanya bertanya, biarkan anak bercerita apa yang dilakukannya, kita hanya mengarahkan dan memberitahu kalau perilaku seperti ini benar, ini baik, yang ini salah, kalau itu buruk dan seterusnya. Dengan model seperti ini anak merasa dihargai sehingga menjadikan pengalaman ini menjadi pembelajaran.
            Pengalaman anak menjadi lebih indah jika ditutup dengan penyelesaian yang indah pula. Ditambah dengan penanaman nilai-nilai agama, semisal “tadi waktu melakukan perbuatan itu berarti setannya baru menguasai tubuhmu” dilanjutkan pertanyaan, “setan terbuat dari apa”? (Api) “api akan mati jika disiram apa?” (Air), “yuk sekarang ambil air wudhu agar setannya kalah dan pergi, kalau sudah wudhu kok masih marah, berarti kamu belum bisa mengalahkan setan”. “tapi pak guru yakin kamu dapat mengalahkan setan”. Dengan cara ini lebih disenangi anak dan merasa tidak disalahkan.
            Orang tua atau guru diharapkan memahami proses perkembangan sosial dan emosi anak. Usia SD dalam tahapan perkembangan masuk dalam perkembangan sosial pada masa kanak-kanak akhir. Setelah anak memasuki sekolah , mereka melakukan hubungan yang lebih banyak dengan anak lain dibandingkan dengan ketika masa prasekolah, setelah usia SD minat pada kegiatan keluarga berkurang. Hal ini sangat dipengaruhi dari dari pengalaman-pengalaman anak dirumah. Maka diharapkan semua orang tua dapat memberi pegalaman-pengalaman terbaik untuk para buah hatinya.

Oleh:
H.M. Zaelani, S.S. (Kepala Sekolah SDIT Salsabila 2 Yogyakarta)

2 komentar:

  1. matur nuwun Ust.Tomy, kami tunggu kabar gembiranya dari perkembangan usaha yang dilakukan saat ini... LANJUTKAN PERJUANGAN

    BalasHapus

Kartini Day