URGENSI
PENDIDIKAN BERKARAKTER
Belakangan ini, negara ini
dihadapkan kepada masalah yang kompleks tentang perilaku dan pola pikir
generasi penerus yang semakin hari semakin menghawatirkan di tengah kemajuan
dan melajunya proses pembangunan secara global. Berbagai peristiwa yang terjadi
dalam segala aspek kehidupan, suatu sisi memberikan harapan yang
menggembirakan, namun disisi lain ada hal yang sangat menghawatirkan tentang
kelangsungan kehidupan dimasa yang akan datang. Sebagaimana yang selalu kita
saksikan melalui media cetak maupun elektronik tentang kemerosotan moral,
buruknya akhlak, dan hilangnya sosok yang bisa dijadikan teladan. Para generasi
bangsa ini seperti sudah sulit dalam menentukan arah dan menemukan acuan
tentang segala tindakan yang dilakukan. Tidak banyak lagi yang berkeinginan
menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menyelesaikan masalah yang muncul.
Setiap masalah selalu direspon dengan kekerasan sebagai jalan keluarnya.
Aksi-aksi anarkisme, radikalisme menjadi suguhan rutin dalam kehidupan
sehari-hari. Kasus terbaru yang menjadi keprihatinan kita bersama yaitu,
kekrasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh pelajar dan aksi-aksi bom bunuh
diri yang dilakukan oleh generasi-generasi mudah penerus bangsa.
Dalam kasus yang lain, para
pemangku kebijakan masih tetap bersikukuh untuk bertegang urat leher dalam
mempertahankan kebijakan pendidikan yang secara umum masih dikelilingi tanda
tanya besar akan manfaat dan efektivitasnya. Sementara itu tujuan pendidikan
nasional secara umum adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya
dengan berbasis pada karakter bangsa, yakni, generasi yang berakhlak, santun,
terampil, bertanggungjawab, berilmu pengetahuan, beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mengacu kepada sebagian kecil dari tujuan ini
seyogyanya visi dan misi yang sudah dijelma mampu menjawab berbagai
permasalahan yang muncul dalam beberapa waktu terakhir ini. Bangsa ini idealnya
dikelola oleh genarasi yang memiliki intensioanal yang jelas, kredibilitas yang
baik, akuntabel serta memiliki pemahaman tentang pembentukan dan pembinaan
generasi yang dapat diandalkan melalui dunia pendidikan.
Lembaga pendidikan, mulai
dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menegah, maupun perguruan tinggi,
memiliki tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang cerdas dan
berakhlak mulia. Kriteria cerdas dan berakhlak mulia ini yang memungkinkan
terwujudnya kehidupan sosial yang ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan
potensi diri dan memanfaatkannya untuk mencapai kebahagian dan kesejahteraan
bersama serta menumbuhkan generasi-generasi yang memiliki eksistensi diri yang
kuat sekaligus yang lebih penting adalah sikap co-eksistensi yaitu hidup
bersama dalam keragaman. Dengan demikian perjalanan sejarah bangsa ini
“dikemudikan” oleh generasi yang memiliki moral dengan melakukan tindakan yang
bermoral.
Namun predikat negara
paling korup di Asia untuk negara tercinta ini merupakan jawaban yang nyata
tentang kualitas akhlak (moral) masyarakat Indonesia secara umum. Selain itu
banyak konflik yang terjadi mulai dari skala kecil sampai yang sangat luas juga
merupakan fenomena lain di tanah air ini tentang kurangnya individu yang
bermoral yang mengaplikasikan tindakan bermoral tersebut. Mulai dari kasus
mafia hukum, mafia politik, mafia pajak, mafia anggaran dan masi banyak lagi
mafia-mafia di negara ini yang lain yang belum terungkap, menjadikan semakin merosotnya
persolan moral bangsa ini.
Sistem pendidikan yang
sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang cerdas dan berakhlak mulia
(berkarakter baik) adalah yang bersifat humanis-filosofis. Sistem ini
menempatkan peserta didik (generasi penerus) sebagai pribadi dan sekaligus
anggota masyarakat yang perlu dibantu dan didorong untuk memiliki kebiasaan
efektif-konstruktif, nilai-nilai kehidupan yang positif dan inovatif, perpaduan
antara pengetahuan, keterampilan dan keinginan. Integratif-interkonektif dalam
sistem pendidikan nasional sudah seharusnya dilakukan. Perpaduan yang harmonis
antara unsur-unsur tersebut menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
meninggalkan ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence),
dan saling ketergantungan (interdependence). Hal ini sangat diperlukan
dalam mengikuti perubahan zaman yang sangat cepat yang diliputi berbagai
masalah yang kompleks. Karena kehidupan yang semakin modern dan kompleks hanya
dapat diatasi secara kolaboratif.
Pengembangan kebiasaan
efektif dilakukan melalui pendidikan dengan membekali peserta didik dalam
mengubah persepsi. Kemampuan dalam mengubah persepsi negatif tentang potensi
diri yang dimilikinya baik potensi fisik, mental, dan sosial-emosional, maupun
spiritual. Sebagaimana Covey (1990) mengungkapkan bahwa etika akhlak (character
ethic) merupakan landasan keberhasilan yang berupa integritas, kerendahan
hati, kesetiaan, keberanian, keadilan, kesopanan, kesabaran, dan kejujuran yang
pada prinsipnya adalah upaya memadukan kemampuan dalam mengubah persepsi
negatif menjadi persepsi positif dengan nilai-nilai yang diperlukan.
Kebiasaan merupakan perpaduan
antara pengetahuan, keterampilan, dan keinginan. Pengetahuan merupakan
paradigma teoritis, apa yang dilakukan dan mengapa dilakukan. Sementara
keterampilan adalah cara melakukan, dan keinginan merupakan motivasi, dorongan
untuk mengerjakan. Supaya memiliki suatu kebiasaan, ketiga hal tersebut harus
dikuasai. Sistem pendidikan yang humanis-filosofis memberikan wadah terhadap
pemahaman manusia secara menyeluruh (holistic)
antara origin, change, dan development
tentang penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. Karena sistem ini
berorientasi pada proses pembelajaran yang menyatakan penggunaan pendidikan
nilai komprehensif yang meliputi inklusi nilai (inculcation), pemodelan (modeling),
fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill
building).
Secara rinci penggunaan
pendidikan nilai komprehensif tersebut tertuang dalam tujuh kebiasaan efektif
sebagai berikut: (a). Proaktif;
proaktif berarti mengembangkan sikap selalu berinisiatif yang merupakan
cerminan adanya tanggung jawab terhadap kehidupan sendiri serta kehidupan
bersama. Mengembangkan sikap aktif dalam merespon kejadian yang muncul
disekitar lingkungan kita. (b). berorientasi
pada tujuan; orang yang memiliki kebiasaan ini mulai dengan
pemahaman yang jelas tentang tujuan hidupnya. Karena hidup ini akan lebih
bermakna apabila kita benar-benar mengetahui apa yang penting bagi kita dan
selalu menyadari hal itu, kemudian mengelola diri sendiri untuk mengerjakan hal
yang benar-benar penting. Karena hidup tanpa tujuan adalah hidup yang tak layak
untuk dijalani. (c). Prinsip
manajemen pribadi; manajemen diri menghasilkan kepuasan, yakni
kesesuaian antara realisasi dengan harapan yang dikelola dengan kompetensi
pribadi. Menjadi pribadi yang unggul dengan menempatkan diri pada posisi yang
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. (d). tumbuhkan komunikasi empatik; komunikasi merupakan
keterampilan yang penting dalam kehidupan. Namun akan lebih sempurna bila
kebiasaan memahami orang lain terlebih dahulu baru minta dipahami oleh orang
lain, sikap empatik terealisasi dalam keterampilan komunikasi yang dimiliki. (e).
Bersinergi; sinergi
adalah esensi kepemimpinan yang berpusat kepada prinsip (principle centred
leadership). Hakikat senergi adalah menghargai perbedaan, mengormati
perbedaan tersebut, memanfaatkan kelebihan, dan mengompensasi kekurangan.
Dengan demikian terbentuklah suatu prinsip kerja sama yang kreatif atau dengan
bahasa lain disebut koeksisten. (f). Prinsip
inovasi diri secara seimbang; kehidupan seimbang yang sehat adalah
yang didasarkan pada nilai persepktif (spiritual), intelektual (akademik), otonomi
(mental), kebersamaan (sosial), dan suasana (fisik).
Saat ini, pendidikan di
sekolah telah dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dan golongan. Berbagai
sekolah didirikan untuk menjadi tempat atau sarana pendidikan bagi anak.
Berbagai kurikulum juga dikembangkan untuk sekolah agar dapat membantu anak
memiliki cara belajar yang baik dan bermutu. Bagi sebagian besar masyarakat,
mereka bisa mendapatkan pendidikan umum di sekolah dengan mudah. Tapi bagi
sebagian masyarakat yang lain pendidikan yang baik dan bermutu terasa amat
mahal dan langka. Investasi
pendidikan yang mahal belum tentu akan lebih terjamin dapat menjawab tantangan
kompleksitas perubahan. Oleh karena itu, dengan mengembalikan pendidikan pada
porsi memberikan bantuan kepada manusia sebagai manusia. Dengan maksimalisasi
pemahaman terhadap nilai-nilai lokal (local
values). Secara filosofis, dengan demikian humanisasi pendidikan perlu
segera dijadikan misi setiap jenjang pendidikan di Indonesia, supaya nilai-nilai
dasar untuk mencapai keberhasilan benar-benar dapat dijadikan landasan dalam
pembentukan karakter bangsa (akhlak bangsa)
Oleh: Rini Widyastuti, S.Sos.I
Staf pengajar di
SDIT Salsabila 2 Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar